Ads Top

Alexandria, Ibu Kota Kosmopolitan Pertama di Persimpangan Dunia


Selama masa hidupnya yang singkat, Aleksander Agung membangun segudang kota yang menyandang namanya. Salah satu yang paling terkenal seperti pendirinya adalah Alexandria. Alexandria, kota kosmopolitan pertama di persimpangan dunia ini sempat tidak tertandingi di dunia kuno.

Alexandria ad Aegyptum (Alexandria-by-Egypt) dengan cepat menjadi salah satu kota terpenting di dunia kuno. Ibu kota dinasti Ptolemeus yang sedang berkembang dan jadi pusat Mesir Romawi, Alexandria merupakan pusat komersial yang penting.

Tidak hanya itu, perpustakaan kuno yang terkenal hingga kini pun berada di kota kosmopolitan ini. Selama berabad-abad, Alexandria menjadi pusat pembelajaran dan sains, yang menampung Perpustakaan Alexandria yang legendaris.

Alexandria: mimpi yang menjadi kenyataan

Setelah penaklukan Mesir, Homer mengunjungi Aleksander Agung dalam mimpi. Ia berkisah tentang sebuah pulau di Mediterania yang disebut Pharos. Di tanah Firaun itulah Aleksander akan meletakkan dasar bagi ibu kota barunya. Kota yang tak tertandingi di dunia kuno itu dengan bangga akan menyandang nama pendirinya—Alexandria.

Benarkah Homer, si Penulis epos Yunani itu, hadir di mimpi Aleksander Agung? Kisah ini mungkin hanya mitos belaka yang bertujuan untuk mengangkatnya sebagai pahlawan dan pejuang.

Untuk mengawasi pembangunan ibu kotanya yang megah, Aleksander menunjuk arsitek favoritnya, Dinocrates. Kehabisan kapur, Dinocrates menandai jalan, rumah, dan saluran air kota baru di masa depan dengan tepung jelai. Makanan gratis yang berlimpah ini menarik kawanan besar burung laut yang mulai berpesta dengan cetak biru kota.



Banyak yang menganggap ‘pesta makan’ terbuka ini sebagai pertanda buruk. Namun sebaliknya, peramal Aleksander menganggapnya sebagai pertanda baik. “Si Peramal mengartikan bahwa kelak Alexandria menyediakan makanan untuk seluruh planet,” ungkap Vedran Bileta dilansir dari laman The Collector. Berabad-abad kemudian, armada gandum yang besar berangkat dari Alexandria untuk memasok makanan ke Romawi.

Perpustakaan Agung Alexandria: gudang para intelektual

Sayangnya, Aleksander tidak pernah hidup untuk melihat kota yang ia bangun. Tidak lama setelah Dinocrates mulai membuat sketsa garis dengan tepung jelai, sang Jenderal memulai serangan militer ke Persia. Satu dekade berselang, Aleksander Agung wafat. Ditinggal mati oleh pemimpin, kerajaannya yang luas terpecah-pecah dalam perang antara para jenderalnya. Jasad Aleksander dicuri untuk dibawa kembali ke kota impiannya. Disimpan dalam sarkofagus mewah, makam Aleksander Agung pun menjadi situs ziarah.

Selama dekade berikutnya, reputasi dan kekayaan Alexandria terus meningkat. Tidak hanya pusat perdagangan, Ptolemaois I Soter menjadikan kota ini sebagai pusat kekuatan intelektual yang tidak tertandingi.

Ia meletakkan dasar untuk Mouseion, kuil para renungan, yang jadi pusat pembelajaran. Kuil ini menyatukan para cendekiawan dan ilmuwan terkemuka. Tidak jauh dari tempat itu, berdiri sebuah bangunan megah yang tersohor: Perpustakaan Agung Alexandria.

Perpustakaan Agung Alexandria menjadi gudang pengetahuan terbesar di dunia kuno. Dari Euclid dan Archimedes, hingga Hero, para cendekiawan dan ilmuwan terkenal menyisir buku-buku. Koleksi tersebut ditulis dalam bahasa Yunani atau ditranskripsi dari bahasa lain. Para penguasa secara pribadi terlibat dalam mendukung perpustakaan dan memperbesar koleksinya yang mengesankan. Agen kerajaan menjelajahi Mediterania untuk mencari buku sementara otoritas pelabuhan memeriksa setiap kapal yang tiba. “Mereka mengambil semua buku yang ditemukan di kapal,” tulis Bileta.

Persimpangan dunia

Karena lokasinya yang menguntungkan, Alexandria segera jadi tempat peleburan berbagai budaya dan agama. Pelabuhan-pelabuhan besar kota dan pasar-pasar yang ramai berubah menjadi tempat pertemuan bagi para pedagang.

Dengan gelombang besar imigran, populasi kota pun meledak. Pada abad ke-2 Sebelum Masehi, Alexandria ad Aegyptum tumbuh menjadi kota metropolis kosmopolitan. Menurut sumber, lebih dari 300.000 orang menyebut kota Aleksander ini sebagai rumah mereka.

Ketika tiba di Alexandria lewat jalur laut, mercusuar megah yang menjulang jadi pemandangan pertama yang terlihat.


Dibangun oleh Sostratus, seorang arsitek Yunani terkenal, Pharos dianggap sebagai salah satu dari Tujuh Keajaiban Dunia Kuno. Itu adalah simbol kebesaran Alexandria, suar besar yang menyoroti pentingnya dan kekayaan kota.

Begitu menginjak Pelabuhan, kemegahan istana akan membuat calon penduduk terpesona.

Alexandria adalah kota multikultural, tetapi populasi Helenistiknya memegang posisi dominan. Bagaimanapun, dinasti Ptolemaik yang berkuasa adalah orang Yunani. “Mereka menjaga kemurnian garis keturunan melalui perkawinan silang dalam keluarga,” tutur Bileta.

Penduduk asli yang cukup besar tinggal di distrik Mesir—Rhakotis. Sayangnya, mereka tidak dianggap sebagai ‘warga negara’ dan tidak memiliki hak yang sama dengan orang Yunani. Komunitas penting terakhir adalah diaspora Yahudi, yang terbesar di dunia. Para sarjana Ibrani dari Alexandria-lah yang menyelesaikan terjemahan Yunani dari Alkitab, Septuaginta, pada 132 Sebelum Masehi.

Meredupnya kota kosmopolitan

Sifat kosmopolitan Alexandria bak pedang bermata dua. Di satu sisi, itu menjamin kesuksesan kota. Di sisi lain, ada potensi kerusuhan dan kekerasan. Di dalam kota itu sendiri, pembelajaran Helenistik ditentang oleh teologi Kristen yang berkembang pesat.

Larangan Kaisar Theodosius I pada ritual pagan memicu kekerasan publik, seperti halnya penutupan kuil. Namun sebenarnya, bentrokan komunitas yang berbeda pada dasarnya adalah perjuangan politik, pertempuran untuk menguasai kota. Jadi bukan semata-mata karena masalah agama.

Selama konflik ini, Serapeum (kuil Serapis) dihancurkan, ini memberikan pukulan mematikan bagi sisa-sisa terakhir Perpustakaan Alexandria yang sempat masyhur. Saat perpustakaan dihancurkan, sebagian koleksinya disimpan di dalam Serapeum.

Korban lain dari kekosongan kekuasaan adalah filsuf Hypatia, yang dibunuh oleh massa Kristen pada tahun 415. Kematiannya secara simbolis menandai dominasi Kristen atas Alexandria.

Metropolis yang tangguh

Kekosongan politik dan kekerasan antar-agama berperan dalam kemunduran kota. Namun ada elemen yang tidak dapat dikendalikan. Sepanjang sejarahnya, Alexandria menderita beberapa gempa bumi. Namun tsunami tahun 365 Masehi dan gempa yang menyertainya menyebabkan kerusakan parah. Alexandria tidak akan pernah pulih seperti sedia kala.

Tsunami, yang dicatat oleh sejarawan kontemporer, Ammianus Marcellinus, menyebabkan banjir di seluruh distrik kerajaan dan pelabuhan Alexandria. Lebih buruk lagi, genangan air asin membuat lahan pertanian di sekitarnya tidak berfungsi selama tahun-tahun berikutnya.

Situasi yang meresahkan di dalam kota diperparah oleh keterasingan dari pedalaman Alexandria. Selama abad kelima dan keenam, Alexandria kehilangan sebagian besar perdagangannya ke kota-kota di lembah Nil. Kekaisaran Romawi juga melemah, kehilangan kendali atas Mediterania. Setelah runtuhnya perbatasan timur pada awal abad ketujuh, Alexandria sempat berada di bawah kekuasaan Persia.

Bangsa Romawi mampu menegaskan kembali kendali mereka di bawah Kaisar Heraclius. Namun kemudian kota itu jatuh ke tangan tentara Islam pada tahun 641. Armada kekaisaran merebut kembali kota itu pada tahun 645, tetapi setahun kemudian orang-orang Arab kembali. Ini mengakhiri hampir satu milenium masa Yunani-Romawi di Alexandria.


Pada abad-abad berikutnya, Alexandria seakan terus ‘tenggelam’ pamornya. Kehadiran Fustat (sekarang Kairo) mengesampingkan kota yang dulu mulia ini. Pendudukan singkat Tentara Perang Salib di abad ke-14 sempat memulihkan sebagian kekayaan Alexandria. Namun gempa bumi menghancurkan Mercusuar yang terkenal dan semakin meredupkan Alexandria. Setelah ekspedisi Napoleon tahun 1798-1801, kota ini mulai mendapatkan kembali ketenarannya.

Abad ke-19 adalah periode kebangkitannya, dengan Alexandria menjadi salah satu pusat utama di Mediterania Timur. Kini, Alexandria terus mempertahankan perannya sebagai kota terpenting kedua di Mesir.

No comments:

Powered by Blogger.